Tuesday, 6 May 2014

Masih Nonton?

Posted in ,   with  No comments    

Jika manusia di dunia hanya digolongkan menjadi dua, maka saya akan menggolongkan manusia ada yang menjadi penonton dan yang perbuatanya atau tingkah lakunya ditonton. mudahnya, kita sebut dengan peniru dan ditiru. Manusia makluk peniru yang paling luar biasa. Sedari kecil kita di asupi kegiatan untuk meniru hal yang dilakukan oleh orang dewasa. Mulai dari kegiatan fisik seperti belajar berjalan, makan, tidur hingga kegiatan non fisik yakni belajar berfikir dan merasa. Semuanya dari belajar. Hingga akhirnya manusia menjadi mahir.

Baru-baru ini saya menonton sebuah pementasan. Bukan hal yang baru, budaya lama yang disepakati oleh seluruh manusia. Hal yang terjadi berulang-ulang. Pementasan ini sebagai awal dari  lahirnya generasi baru dari sepasang manusia yang saling cinta yang secara sadar bersama-sama ingin merasa terikat oleh sebuah hubungan yang sakral dan terhormat. Pernikahan.

Bertemu kawan lama yang sama-sama datang di acara itu, Dia menyapa saya terlebih dahulu. Banyak yang berubah dalam tampilan dirinya sama seperti kemajuan tempat yang dulunya kutinggali. Jalan yang saya lalui dahulunya hanya kumpulan batu aspal rusak bercampur tanah hingga jalan berwarna merah dan hanya menyisakan sedikit permukaan yang masih layak untuk di lalui. Kini jalanan tersebut sudah di hotmix seperti jalan di kota-kota besar. Kemajuan.

Banyak hal yang berubah, mungkin hanya saya yang masih jadi penonton. Beberapa teman dan kerabat sudah mulai berani mendeklarasikan perubahan dari yang sekedar penonton menjadi ditonton. Beberapa puluh tahun lalu saya masih ingat bagaimana uniknya seorang teman yang setiap hari hidungnya di penuhi ingus dan tak tertarik untuk menghilangkanya atau bermain “benteng” di lapangan sekolah, berkejar-kejaran berlari kesana-kesini, tak terlintas sebuah pikiran akan hari esok.

Kini semua telah berubah, beberapa kawan saya sudah berbisik-bisik tentang orang-orang yang dicintainya. Berbicara tentang pekerjaan dan masa depan. Malahan sebagian sudah mantap untuk berumah tangga. Dan saya masih duduk di salah satu sudut tanpa melakukan apa-apa namun lebih kearah de facto.

Secara de jure yang saya lakukan sudah menyamai procedure yang telah ditetapkan oleh manusia dalam kegiatan mencari tambatan. Mulai dari perkenalan, pendekatan lalu pernyataan. Saya telah mempraktekan cara-cara yang disarankan oleh orang yang lebih mahir dalam hal ini dan tak lupa saya juga telah berguru ke lebih dari satu orang guru. Semua media juga telah saya lakukan mulai dari telepon hingga hitungan primbon. Nyatanya deklarasi tak pernah terjadi.

Akhirnya saya hanyalah pelaku gagalnya konsep tata cara yang manusia terapkan. Saya hanyalah pemegang remote untuk apa yang saya saksikan di layar kehidupan. Kisah menikmati masa muda, menghabiskan waktu berdua dengan orang yang dikasihi, merencanakan masa depan, saya belum siap untuk berkumpul dengan manusia. Melakukan rutinitas sehari-hari hanya sebagai cerminan paksaan karena bertambahnya usia dan tanggung jawab.

Teman saya bertanya “Han, udah punya cewe belum ?” atau “Han, kapan merit?”. Dua pertanyaan ini  adalah pertanyaan wajib yang sering di tanyakan oleh orang lain yang terkadang butuh keberanian tingkat tinggi untuk mengatakan “Wah saya belom ada pacar” atau “Nanti deh kalo ada jodohnya”. Sekilas memang sepele, pertanyaan sejenis ini hanya sebagai ungkapan basa-basi dari teman yang sudah lama tak bertemu, yang berfikir bahwa semua jalan manusia adalah sama tanpa pernah tau beberapa orang masih belum bisa hidup seperti garis jalan takdir manusia. Terjebak dalam dogma bahwa jika tak melakukan hal itu walau kebanyakan bukan karena keinginan pribadi dan tanpa adanya pembela yang berkompeten dan akhirnya bisa di katakan aneh dan bertentangan.

Dan beginilah nasib dan kesunyiannya.

0 komentar:

Post a Comment