Sani Tawainella (www.cahayadaritimur.com)
“Aku Jatuh Cinta dengan sepakbola seperti aku jatuh cinta kepada seorang gadis“ Begitu kata NickHornby penulis asal Inggris mengambarkan kecintaannnya terhadap sepak bola didalam buku karangannya yang berjudul “Fever pitch”.
Sepak Bola, siapa yang tak tahu dengan olah raga paling populer di muka bumi ini. Olah raga ini amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari dan tak mungkin rasanya bisa lepas dari sepak bola. Anda tidak percaya? Coba lihat di sekeliling anda, anda bisa menyaksikannya jelas entah itu anak-anak,remaja bahkan orang tua setia memainkannya, mereka menyebar dimana saja, di pemukiman kumuh padat penduduk, di setiap gang-gang jalan, di lapangan yang keras berpasir, lahir dan berkembang mulai dari turnamen antar kampung hingga kompetisi profesional adalah gambaran betapa sepak bola sudah mendarah daging, sepak bola lebih dari sekedar olah raga, sepak bola adalah gaya hidup bahkan sepak bola merupakan alat perjuangan.
Sani dan Sepakbola
Nama Sani Tawainella mungkin tak pernah ada dalam halaman buku Fever Pitch. Tapi tak dapat yang dapat menyangsikan bagaimana seorang Sani sangat mencintai sepak bola, dalam hidupnya hanya ada sepak bola. Siapa Sani Tawainella? Pria asal Tulehu ini tak lebih dari orang biasa, yang setiap harinya bekerja sebagai tukang ojek untuk membiayai keseharian hidup dirinya dan anak istrinya dimana dia menyisihkan waktunya setiap hari setelah pulang kerja untuk melatih anak-anak sepak bola di lapangan Mato waru Tulehu tanpa ada yang membayar sepersen pun, dia melukukan ini semua dengan cuma-cuma.
beberapa tahun yang lalu di Ambon terjadi kerusuhan etnis/komunitas agama yang berawal dari sentimen agama yang diprovokasi oleh segelintir golongan yang memanfaatkan kemajemukan untuk kepentingan tertentu. Terlepas dari itu semua kerusuhan di ambon banyak memakan korban jiwa baik yang dewasa maupun anak-anak. Kerusuhan juga menyebar hampir keseluruh daerah di Maluku, termasuk di Tulehu. Sani yang melihat banyaknya anak-anak yang menjadi korban kerusuhan tersebut tergerak hatinya untuk mengajak anak-anak bermain sepak bola dengan tujuan mengalihkan perhatian agar tidak ikut terlibat konflik.
Sani memiliki bakat melatih karena dirinya adalah mantan pemain tim nasional u-15 Indonesia yang pernah dikirim untuk mewakili Indonesia dalam ajang piala pelajar se asia dan pengalamannya berlatih di diklat ragunan membuat dirinya mampu melatih anak-anak bermain sepak bola di tempat ia lahir dan tinggal tulehu. Setiap sore iya melatih bersama dengan temannya Rafi dalam film kawannya yang mantan pemain sepak bola yang kehilangan karir profesionalnya karena cedera parah.
Nama Alfin Tuassalamony, Rizky Ahmad Sanjaya Pellu, Hendra Adi Bayauw serta Sadek Sanaky, Salim Ohorella,Hari Zamhari dan lain-lainnya adalah nama pemain-pemain yang dilatih oleh Sani dan Rafi. Namun ketika tahun memasuki era damai sekitar tahun 2006 Sani dan hari pecah kongsi yang di karenakan SSB (Sekolah Sepak Bola) Tulehu Putra yang mereka berdua buat diakuisisi penuh oleh Rafi. Sani pun akhirnya mengundurkan diri dan kembali fokus sebagai tukang ojek.
Kemampuan melatih Sani Tawainella tercium oleh SSB di Passo, salah satu pelatih SSB Passo Josef Matulessy mengajak Sani untuk melatih di sana, awalnya Sani tak diizinkan oleh pemilik SSB karena kepercayaan Sani yang notabenya adalah seorang muslim karena di Passo mayoritas beragama kristen namun Josef Matulessy dapat meyakinkan pemilik klub untuk memperkerjakan Sani karena dia memiliki bakat untuk bisa lebh dekat dengan pemain baik itu personal maupun secara tim dan lagi alasan waktu yang sudah mepet untuk persiapan piala Mailoa akhirnya Sani dapat dipekerjakan dan di gaji layaknya pelatih profesional. Dua pemain dari Tulehu Putra Alfin dan Salim hijrah ke SSB Paso.
SSB Passo yang dilatih Sani akhirnya berhasil mencapai final dan bertemu dengan tim lamanya yakni SSB Tulehu Putra, Sani pun bertemu dengan Rafi, sahabatnya. Pertandingan yang di penuhi emosi baik antar pelatih dan pemainnya ini akhirnya dimenangkan oleh Tulehu putra 1-0.
Meski Sani gagal gagal menjuarai Piala Maiola nyatanya Sani mendapat kehormatan untuk menjadi pelatih kepala tim U-15 Maluku oleh PSSI disana. Sani dianggap pantas menjadi melatih kepala karena mampu membangkitkan semangat juang pemain dan Sani sangat akrab dengan anak-anak yang diasuhnya. Rafi yang tak tadinya di usulkan menjadi asistent pelatih menolak untuk bergabung sehingga Josef Matulessy, yang sama-sama mengajar di SSB Passo di jadikan assitantnya. Tugas Sani adalah membawa nama harum Maluku di kancah sepak bola Indonesia untuk bertanding di Jakarta dalam rangka piala Medco yang mempertemukan tim u-15 antar Pengprov PSSI yang bertujuan mencari bakat pesepak bola nasional yang masih berusia muda.
Nama-nama skuad tim U-15 maluku yang berangkat ke Jakarta adalah pemain dari kedua SSB yakni SSB Tulehu Putra dan SSB Posso antara lain : M.Kasim Tuasalamony,Ami Dida,Riskandi Lestaluhu,,Alvin Tuasalamony,Akbar Marasabessy,Hari Zam Harir Lestaluhu,Sedek Sanaky,Fahmy Kotta,Irsal Lestaluku,,Pangky Pasamba,Pingky Pasamba,Pando,Rizky Pellu,Asrul Risahondua,Imran Lestaluhu,Muhammad Rizky Tawainella,Syaiful Ohorella,Salim Ohorella,Hendra Bayao.
Maluku U-15 ke Jakarta
Tim Maluku u -15 pun berangkat ke Jakarta, Berbekal dana seadanya yang terdiri dari dana swadaya masyarakat, PSSI maluku sampai Sani pun mengorbankan 2 ekor kambing untuk menambah ongkos ke Jakarta ini hampir saja membuat Sani cerai dengan istrinya.
Jakarta adalah impian dan harapan bagi Sani, Sani yang bercita-cita menjadi pemain sepak bola profesional gagal di Jakarta, karena indispliner dirinya pun kehilangan kesempatan menjadi PSSI Barreti. Kali ini Sani berhasrat untuk membuat sebuah kebanggaan untuk dirinya yang berkali kali gagal dalam hidup.
Menyatukan tim U-15 Maluku dalam satu tim merupakan hal yang tidak mudah, didalam tim terjadi pengelompokan antara basis Tulehu dan Posso yang di akibatkan oleh perbedaan agama, hal ini manjadi faktor kekalahan tim Maluku U-15 atas Jakatya U-15 karena kedua kubu ini tak kompak.
Sani pun geram, dan hampir putus asa. Ditengah kekalutan yang terjadi di timnya Sani mampu memotivasi para pemainnya di locker room . “Kalo beta tanya ose siapa? Kamong jawab apa?” tanya Sani kepada para pemainnya “beta Maluku” serentak di jawab oleh para pemainnya yang akhirnya menemukan motivasi bahwa tak peduli mereka orang tulehu, orang posso, atau beragama islam maupun Kristen tetap satu darah satu Maluku.
Semangat persatuan dan Motivasi ini yang akhirnya membawa Maluku U 15 melangkah mulus hingga final. Di Final Maluku U-15 bertemu dengan tim Jakarta u-15 yang notabenya lawan pertama mereka. Berkat semangat juang yang tinggi Maluku U-15 menang dengan skor 4-3 melalui titik pinalti setelah bermain imbang 0-0 di waktu normal.
Sani pun berhasil membangkitkan kembali akan masa-masa jaya yang dulu tak diraih, Sani juga berhasil membawa kebanggaan bagi rakyat Maluku dan meninggikan cita-cita pemain pemain asuhannya untuk berkarir profesional.
Tulehu, Brasilnya Indonesia
Setiap sore anda akan menyaksikan banyaknya anak-anak berseragam dengan warna beragam bergemelut merebutkan bola, saling kejar mendribel bola, mengumpan sambil diselingi tawa renyah adalah gambaran yang terjadi di Tulehu, sebuah tempat dengan kultur sepak bola yang mendarah daging.
Sedari kecil anak-anak Tulehu sudah akrab dengan bola, bahkan sampai ada yang tidur dengan ditemani oleh sebuah bola. Masyarakat Tulehu juga sering mengadakan tradisi mengoleskan rumput dari lapangan bola saat bayi laki-laki berusia 7 bulan yang menandakan bahwa orang tua mereka menginginkan anaknya menjadi seorang pesepak bola. Banyak orang tua yang bangga jika menceritakan bahwa anaknya menjadi pemain sepak bola di jawa, entah itu menjadi pemain profesional atau sekedar pemain tarkam.
Faktor alam, lingkungan serta masyarakat Tulehu menjadi hal yang amat mendukung terlahir banyaknya pemain yang berskill di atas rata-rata. Perpaduan antara laut yang biru dengan
Tulehu tak pernah berhenti menyediakan stok untuk menjadi peunggawa tim garuda didadaku sejak tahun 70 Tulehu rutin menyumbang pemainnya. Sebut saja nama Imran Nahumarury, Rahel Tuasalamony yang pernah memperkuat Persib hingga Khairil Pace Anwar Ohorella yang ngetop di Persebaya.
Sani kini mungkin bisa tersenyum lebar melihat anak asuhnya seperti Alfin Tuasalamony yangbermain di Persebaya (sebelumnya di Cs Vise, Belgia) , Rizki Ahmad Sanjaya Pellu yang bermain di Pelita Bandung Raya (Sempat bermain di tim SAD Uruguay) , Hendra Adi Bayauw bermain bermain di Semen Padang dan ketiganya kini menjadi tulang punggung tim nasional Indonesia. Nama baru seperti Alqomar Tehupelasury yang masuk skuad timnas u-19 Indra Sjafrie adalah bukti bahwa Tulehu tak pernah pelit memberikan sumbangan yang besar untuk Indonesia.
Tulehu dan sepak bola adalah hal yang tak bisa dipisahkan, nama Tulehu mungkin terdengar asing, tak ada klub sepak bola asal Tulehu yang bermain di kancah level tertinggi di Indonesia kalah tenar dengan papua atau jawa timur tetapi Tulehu adalah sebuah kekecualian, Tulehu sebagai sarang para punggawa timnas dari masa ke masa, tulehu adalah tulang punggung timnas setiap laki-laki yang lahir disana ditakdirkan menjadi pemain sepak bola.
Terima kasih Sani Tawainella, semoga kebaikan hatimu menginspirasi banyak orang. :D
Nb : tulisan ini adalah hasil dari rasa penasaran saya akan kisah asal usul Alfin dkk yang berasal dari Tulehu yang di kirim ke SAD dan mampu bermain di Eropa, sebuah hal yang langka bagi pemain Indonesia dan juga kisah tentang Sani Tawainella yang mampu melahirkan banyak pemain bertalenta walau hanya seorang tukeng ojek. Rasa penasaran saya akhirnya bisa terjawab dari nonton bareng premier Cahaya dari Timur “Beta Maluku”.
Sani Tawainella dan saya
0 komentar:
Post a Comment