Kembali ke Pancasila
Pancasila adalah warisan luhur yang dilahirkan oleh bapak-bapak bangsa dalam perumusan sebuah ideologi bangsa, dasar negara Indonesia. Nilai-nilai Pancasila pertama kali dikemukakan pada 1 Juni 1945 oleh Sukarno, dalam sebuah pertemuan bersama 67 tokoh Indonesia yang terdiri dari beragam agama dan suku. Ketika Indonesia memprokalamsikan kemerdekaan, para pendiri bangsa sepakat menjadikan Pancasila sebagai ideologi bersama dan cita-cita bangsa.
Setelah 69 tahun berlalu, Pancasila yang dijunjung tinggi dan banyak membuat kagum bangsa-bangsa lain di dunia kini semakin hari semakin ditinggalkan, sedangkan ide untuk mengganti ideologi, khususnya dengan ideologi mengkultuskan agama tertentu atau golongan tertentu semakin hari semakin menggema. Persoalan bangsa semakin hari semakin ruwet, Pancasila semakin dilupakan dan akhirnya menghambat usaha Indonesia untuk menjadi bangsa yang makmur dan berwibawa.
Pancasila yang agung kini hanya dijadikan simbol-simbol saja dalam acara resmi. Ide menggali kembali Pancasila hanya omong kosong yang menguap begitu saja. Kita seakan lupa bahwa pancasila adalah jati diri bangsa yang harus dijunjung dan dibela keberadaannya.
Kini kita menyaksikan hampir setiap hari di tayangan televisi kita, di media cetak, dan di media online banyak terjadi tindakan tak bermoral yang dilakukan oleh penguasa. Para birokrat berlomba-lomba untuk merampas kekayaan aset bangsa, korupsi yang telah merasuk dalam institusi pemerintahan, serta budaya kolusi dan nepotisme yang merajai di segala lini tanpa mengenal lagi batas-batas kewajaran. Masyarakat harus hidup dengan kemiskinan dan penderitaan sementara para “wakil rakyat” berkutat dengan permainan politik dan usaha memperkaya diri dengan uang haram.
Inilah hal-hal yang sehari-hari kita dapati di hidup berbangsa ini, bangsa yang lupa akan cita-cita bangsanya sendiri, lupa akan jasa para pahlawan yang gugur di medan juang, lupa akan ajaran-ajaran nilai luhur yang terkandung dalam budaya jati diri asli, identitas bangsa Indonesia sebenarnya.
Sila Satu : Ketuhanan yang Maha Esa
Ketuhanan yang Maha Esa mencerminkan kepercayaan akan Tuhan yang satu, Tuhan yang universal. Dalam beragama kita bebas menentukan apa yang kita percaya, dan hal ini dijamin oleh undang undang. Namun, pada kenyataannya, masih banyak umat beragama yang harus hidup dalam ketakutan karena serangan fisik maupun verbal dari oknum-oknum yang tidak toleran. Mereka mengatasnamakan kemurnian agama dan kebaikan negara, namun aksi mereka tidak berbeda dari aksi preman atau bahkan teroris radikal.
Oknum-oknum ini memang tidak banyak jika dibandingkan dengan orang-orang Indonesia yang toleran dan cinta damai, namun kekerasan mereka membungkam mayoritas yang tidak berani melawan. Fokus mereka teralihkan dari Tuhan; mereka terlalu sibuk berurusan dengan pemahaman agama yang ekstrim. Padahal, kita tidak percaya bahwa Tuhan menghendaki umatnya saling menyakiti. Tuhan yang kita percaya adalah Tuhan yang pengasih dan penyayang, yang menginginkan kedamaian di bumi ini.
Kebebasan beragama di Indonesia memang dijamin Undang-Undang Dasar, namun kenyataannya masih jauh dari harapan. Untuk kembali mengamalkan sila pertama ini, kita perlu meningkatkan toleransi dan hubungan baik antar umat beragama di Indonesia. Terlepas dari perbedaan dalam cara kita berdoa dan menjalankan ritual-ritual agama, kita semua percaya pada satu Tuhan, dan inilah yang menyatukan kita, warga negara Indonesia.
Sila Kedua : Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Dibawah ketuhanan ada kemanusiaan.Hal ini disadari betul oleh para pencetus bangsa yang menginginkan adanya persamaan hak, tenggang rasa dan menjunjung tinggi harkat dan martabat yang sama. Namun, kenyataannya ketimpangan sosial yang terjadi. Yang kaya semakin rakus yang miskin semakin terdesak dan terdorong roda kehidupan yang mengelinding dan menggusur kelayakan hidupnya hingga dipaksa tunduk dan bersujud kepada ketidakadilan. Penguasa semakin hari semakin menjadi-jadi memperlihatkan kemewahan tanpa mau memandang ke bawah, sedangkan rakyat yang lapar dibiarkan menari dalam kesengsaraan. Konflik vertikal dan horizontal makin memperparah keadaan. Kemanusiaan bukan menjadi prioritas lagi dalam dunia yang terlalu mementingkan kekayaan materi.
Manusia sejatinya adalah saling mencintai. Sebagai makhluk sosial manusia tak akan pernah bisa hidup sendiri. Sifat gotong royong adalah identitas bangsa yang harus kembali digalangkan , dihidupkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara.
Sila ketiga : Persatuan Indonesia
Dengan implementasi sistem otonomi daerah yang dimulai di masa Reformasi ini, daerah-daerah di Indonesia memiliki kesempatan yang semakin luas untuk mengembangkan potensi daerah masing-masing.
Sayangnya, sisa hasil kebijakan lama dan kurang giatnya usaha penyerataan pembangunan menyebabkan ketimpangan dalam pembangunan di masing-masing daerah, dan masih banyak daerah yang tertinggal dalam segi ekonomi maupun pendidikan. Beberapa daerah juga malah menjadi korban dari kebijakan yang tidak adil, terutama dalam hal penggunaan sumber daya alam. Tanah-tanah leluhur dan lokasi-lokasi penuh kekayaan alam dan budaya asli sering dikorbankan oleh pemerintah pusat demi kepentingan ekonomi, dan hasilnya tidak dibagikan kepada masyarakat yang dirugikan.
Hasilnya, elemen-elemen radikal dan separatis menggunakan kekesalan masyarakat sebagai alasan untuk bergerak, memaksakan kehendak kepada pemerintah pusat dan bahkan mengancam akan memisahkan diri dari NKRI. Persatuan yang telah lama mengikat warga Indonesia pun terancam, dan sebagai sebuah negara kita pun menjadi lebih rentan terhadap pengaruh-pengaruh negatif yang bertujuan memecah belah Indonesia.
Semangat memelihara persatuan, merasa sebangsa dan bernegara, senasib sepenanggungan harus dikobarkan lebih kuat lagi. Dalam melangkah menuju masa depan, kita harus memegang asas Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tapi satu: beragam suku, bahasa maupun agama namun merasa sebagai satu kesatuan. Tanpa kesatuan, kita tidak akan bisa menggabungkan kekuatan kita untuk mencapai cita-cita Indonesia.
Sila keempat : Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Wujud utama pengamalan sila keempat dalam butir Pancasila adalah rakyat Indonesia memilki kedudukan yang sama dalam penggunaan hak politiknya. Bukti paling nyata dari penggunaan hak politik ini adalah Pemilu dan pemilihan kepala daerah. Kita memilih putra-putri terbaik bangsa untuk mewakili kita dengan pemilihan langsung mulai dari rukun tetangga (RT) hingga Presiden. Semua dilakukan atas asas demokrasi. Diharapkan dengan sistem ini tercapailah sistem kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah kebijaksanaan dan permusyawaratan/perwakilan.
Namun apa yang dicita-citakan dinodai oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Politik uang dan kecurangan dalam pemilu menjadi penyakit yang seakan tak ada obatnya. Biaya politik yang begitu tinggi menyebabkan para calon pemimpin meminjam uang ke mana-mana. Masa jabatan bukannya digunakan untuk mengabdi pada masyarakat, namun untuk “balik modal”. Uang rakyat dan harta negara dikuras untuk melunasi hutang dan memperkaya diri.
Pemilu 2014 ini menjadi kesempatan bagi kita untuk mengubah keadaan ini. Sebagai warga negara yang bertanggungjawab, kewajiban kita adalah memilih pemimpin yang tidak menjadi hamba uang, namun menjadi hamba rakyat. Pemimpin yang kita pilih harus berani merombak pemerintahan dari akarnya, sehingga para anggota lembaga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat yang menyampaikan suara masyarakat kepada pemerintah.
Sila kelima : Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keadilan sosial merupakan sebuah konsep yang abstrak dan sulit dijelaskan. Secara umum, kita mengartikan keadilan sosial sebagai keadaan di mana semua warga bisa mendapatkan penghidupan yang layak dan kesempatan yang setara dalam mengejar aspirasi diri. Keadilan sosial adalah impian segala bangsa, tidak terkecuali Indonesia. Sebagai sebuah negara kesatuan yang penuh keragaman, sudah sewajarnya jika asas keadilan sosial menjadi idaman.
Namun, kenyataannya jauh dari itu. Angka kemiskinan di Indonesia masih terbilang tinggi, dan kesenjangan sosial merupakan satu bahaya laten yang kadang dimanifestasikan oleh tindakan kekerasan dan aksi anarkis di masyarakat. Kemiskinan dan kurangnya mobilitas sosial menjadi bara yang kerap menyulut amarah dan keinginan untuk bertindak tidak jujur, entah hanya sebagai pelampiasan atau wujud keputusasaan dan usaha untuk meningkatkan status.
Kita juga tidak boleh melupakan mereka yang terlahir dengan cacat fisik atau mental dan semua orang yang dikucilkan dari masyarakat, seperti pengidap HIV/AIDS dan penderita kusta. Mereka juga manusia, dan lebih penting lagi, mereka adalah warga negara Indonesia yang seharusnya tetap memiliki hak untuk hidup dengan harga diri dan menerima kesempatan yang setara.
Dalam keadaan seperti ini, pemerintah memegang tanggung jawab terbesar untuk memelihara kaum miskin dan cacat, serta membuka kesempatan bagi masyarakat untuk hidup layak dan memperbaiki mobilitas sosial dengan usaha sendiri. Kita patut memuji berbagai inisiatif pemerintah maupun pihak pribadi untuk memperbaiki situasi keadilan sosial di Indonesia, namun jalan menuju Indonesia yang adil masih panjang. Sejatinya Pancasila menjadi pedoman kita dalam jalan ini.
Kembali Ke Pancasila
Negeri ini bersusah payah untuk melepaskan diri dari beban masa lalu dan tantangan masa depan. Dalam usaha ini, kita memerlukan sebuah dasar dan pijakan yang kokoh, agar kita tidak kembali terjerumus ke dalam jebakan-jebakan yang ada di jalan ini. Sebagai dasar negara, Pancasila seharusnya menjadi dasar bagi Indonesia untuk maju ke masa depan. Pancasila semata bukan solusi, namun Pancasila adalah kunci yang membuka jalan bagi Indonesia.
Namun, lebih dari itu, Pancasila adalah “rumah” bagi semua warga negara Indonesia; di dalam naungannya, kita yang berbeda-beda dapat menjadi satu keluarga yang saling mencintai dan saling mendukung. Sudah saatnya kita kembali, merenungkan dan mengamalkan Pancasila.
0 komentar:
Post a Comment