Wednesday, 10 December 2014

Soal Kebijakan Ahok tentang Pelarangan Penggunaan Motor di Jalan Utama Itu

Posted in   with  No comments    
Mulai 17 Desember ini beberapa jalur di Jakarta seperti Jalan Jendral Sudirman, Bundaran HI, MH Thamrin dan Merdeka Barat diharamkan dilintasi oleh sepeda motor. Hukuman jika melanggar lumayan kejam tak tanggung dana sebesar Rp 500.000,- yang harus dibayar bila melanggar atau mencabut surat ijin mengemudi sepeda motor (SIM C) oleh Polisi di tempat tanpa melalui persidangan.

Kejem? Iya. Sadis? Pastinya dan wacana ini memang sudah berhembus lama, sejak bulan Januari awal tahun 2014 dan saya termasuk puluhan ribuan pengendara motor yang setiap harinya melewati jalur tersebut dipaksa putar otak untuk mengatasi kebijakan bapak Gubernur yang baru ini.

Duh! Begitu kira-kira kalimat yang muncul di kepala saya ketika pertama kali mendengar adanya sosialisasi tersebut, melalui situs web portal berita sebulan yang lalu dan lumayan heboh dibincangkan di media sosial termasuk pesan berantai “boardcast” di BBM (BlackBerry Messenger) yang hampir saban hari saya terima dari kawan-kawan di aplikasi pesan BBM.

Adanya peraturan ini membuat saya yang biasanya kalem kali ini cukup terusik, pasalnya kabar pelarangan penggunaan motor di Sudirman dan Bundaran HI bukan merupakan kabar gembira terlebih beberapa hari sebelum kabar ini tersebar di media sosial Presiden Jokowi mengumumkan kenaikan harga bahan BBM (Bahan Bakar Minyak) yang cukup besar mencapai kenaikan 2.000 rupiah yang sama hebohnya dengan peraturan pelarangan ini.

Bagi saya yang masih fresh graduate S1 dan masih berpenghasilan UMR ini amat sangat sebal dengan keputusan Ahok yang kurang populer ini, pasalnya saya bekerja di perusahaan media dan masih berstatus freelance di sini tanpa jaminan BPJS, belum lagi harus membiayai sendiri kuliah pascasarjana yang jumlahnya lumayan besar dan harus dicicil perbulannya.

Dengan kenaikan BBM buat saya juga semakin meringis karena sama sekali tak menyisahkan sedikit uang walau hanya untuk menabung 100 sampai 200 ribu saja per bulannya. Padahal saya termasuk orang yang dicap memiliki pola hidup sederhana. Beruntunglah saya masih menumpang dengan orang tua sehingga biaya makan sehari-hari masih di tanggung oleh mereka.

Kenaikan BBM juga diperparah dengan dilarangnya bersepeda motor di rute yang setiap harinya saya lalui alhasil saya pun harus menempuh rute yang cukup jauh untuk mencapai tujuan dan menghabiskan kilometer yang cukup panjang dan menghabiskan tangki bensin lebih cepat dari pada sebelumnya. Estimasi saya yang biasanya hanya menghabiskan RP 15.000,- membengkak menjadi Rp. 20.000,-.

Solusi adanya bus gratis tidak menolong karena jalur Sudirman dan Bundaran HI hanya sebagai jalur perlintasan buat saya dari kampus (salemba) ke kantor (palmerah) yang biasanya dilewati mulai 17 desember nanti sudah tak bisa dilewati. Kalaupun nantinya bisa menggunakan mobil untuk bolak balik bayangkan berapa besar biaya yang saya keluarkan hanya untuk memarkirkan motor dengan estimasi dana sebesar Rp 2000.-/Jam.

Adanya niatan untuk mencari pekerjaan baru terbentur oleh nilai idelis pada diri saya yang begitu mencintai pekerjaan saya saat ini sebagai orang media dan teramat sayang kalau luntur karena masalah ini. Semoga tujuan Gubernur Ahok melakukan ini semata-mata untuk kepentingan bersama dan mengurangi kemacetan yang menjadi musuh kita bersama. Jikalau saya berpikir lebih positif sebenarnya Gubernur Ahok ingin menghilangkan zona kenyamanan saya selama ini dan harus kerja-kerja dan kerja lebih keras lagi. Oh iya pak Ahok doain saya yah semoga cepat punya mobil pribadi sehingga bisa melewati jalur terlarang tersebut.

Tabik.

0 komentar:

Post a Comment