Friday, 27 February 2015

Begal dan Hilangnya Kesalehan Sosial

Posted in   with  No comments    

Tindak kejahatan begal kini tengah menjadi sorotan ditengah-tengah masyarakat, pasalnya tindakan kriminal mengambil secara paksa kendaraan bermotor yang kadangkala sampai membuat korban terbunuh ini menjadi ketakutan tersendiri, terlebih bagi para pengguna jalan apabila masuk waktu malam hari dimana keadaan jalan serta lingkungan sekitar menjadi lebih sepi dan ideal untuk memancing para pelaku kejahaan menjalankan aksinya.

Fenomena ini menjadi buah bibir khususnya dalam lingkup kota-kota besar di Indonesia, antara lain Jakarta, Depok, Bekasi, Lampung, Makassar, dan Tangerang menjadi tempat yang dijadikan sasaran empuk para pembegal beraksi. Depok menjadi wilayah pertama yang disantroni oleh para pembegal, dalam sebulan saja terjadi 3 kali aksi begal, pertama insiden juanda, disusul oleh pembacokan di depan kampus BSI, lalu penyerangan terhadap wanita di Limo, Krukut.

Isu begal Depok yang masih simpang siur tentang tertangkap atau tidaknya para pelaku, meski beberapa catatan di media online banyak yang tertangkap, antara lain yang diberitakan dari situs okezone yang memberitakan pelaku begal tertangkap yang ternyata masih SMA, lalu dari Metronews yang memberitakan polisi sudah menangkap bos pelaku begal, namun nyatanya masih ada pelaku yang belum tertangkap, hadirnya berita dari tempo tentang modus penggunaan tali yang dilakukan pembegal menandakan bahwa Depok belum aman, berbeda dengan kampanye #DepokAman yang diserukan netizen beberapa waktu lalu. Hingga hari ini menurut catatan kepolisian terdapat 80 kasus begal di Jabodetabek, termasuk Depok.

Senada dengan kejadian begal di depok, di Makassar, netizen membentuk sebuah opini masal dengan hastag #MakassarTidakAman yang menandakan bahwa di Makasar juga terdapat fenomena pembegalan, Jika di Depok klub motor membantu polisi menangkap pelaku begal, lain halnya di Makasar geng motor yang berkedok klub motor menjadi pihak yang diduga menjadi pelaku tindak pidana begal, bahkan ada tayangan cctv yang memperlihatkan betapa ganasnya pembegal di Kota Makassar yang tidak segan-segan menusuk korban.

Hastag #MakassarTidakAman pun sampai membuat “gerah” para petinggi di Makassar. Wali Kota Makassar Mohammad Ramdhan Pomanto meminta bantuan TNI untuk menangkap penebar penyakit sosial ini sampai keakarnya. Sampai wakil Presiden kita yang asli orang Makassar Jussuf Kalla ikut membicarakan masalah gang motor yang tidak hanya membegal saja, tetapi perihal keamanan Makassar yang kini direcoki oleh tindak kriminal, dari pihak kepolisian malah sempat kehilangan “akal sehat” yang justru ingin menangkap pelaku penyebar hastag dan perintah tembak ditempat bagi para pelaku tindak kejahatan di Makassar karena selain membegal di Makassar justru terjadi banyak kejahatan seperti menodong, merampok, dan tak segan-segan menghabisi korban.

Puncak dari keresahan terkait tindak kejahatan yang dilakukan oleh begal ini terjadi kemarin selasa(24/02/2015) aksi pembegalan kembali terjadi, kali ini di Tangerang, tepatnya Jalan Raya Ceger, Pondok Karya, Pondok Aren, Kota Tangerang. Aksi begal yang diawali dengan memepet korban ini diketahui oleh warga, ada dua pelaku begal, salah seorang selamat dan satunya tertangkap dan dihakimi oleh warga, tak tanggung-tanggung, warga dengan berjamaah membakar hidup-hidup pelaku begal dan beberapa orang mendokumentasikan detik-detik kematian pelaku begal tersebut.

Kini setelah terjadi kejadian main hakim sendiri yang terjadi di Tangerang timbul pertanyaan muncul, benarkah aksi penghakiman massa yang dilakukan tersebut? Disini ironi pun muncul, sebagai negara yang berlandaskan hukum, bukankah sebaiknya pelaku begal itu diserahkan ke pihak berwajib guna diproses hukum yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negeri ini.

Pertanyaan kembali muncul, benarkah apabila si pelaku diserahkan kepihak berwajib, akan tuntas masalah ini? Menurut Kriminolog dari Universitas Indonesia, Hamidah Abdurrahman, Tindakan main hakim sendiri menurut Hamidah adalah karena selama ini masyarakat melihat polisi tak merespons cepat kekhawatiran dan laporan warga mengenai aksi pembegalan. Oleh sebab itu, masyarakat lebih memilih untuk menindak sendiri pelaku pembegalan (sumber: Tempo).

Menurut salah satu warga yang pondok Aren, mengatakan bahwa dirinya merasa tenang dan tak menyesal telah melakukan perbuatan tersebut. "Ya harus begitu, enggak apa-apa dibikin babak belur biar kapok yang begal. Jangan macam-macam sama warga Pondok Aren,"ungkap Afandi salah satu warga Pondok Aren.

Bukankah aksi main hakim sendiri yang terjadi selasa lalu tidak akan menuntaskan tindakan kriminal, menurut Kriminolog Arthur Josias Simon, menurut Josias perbuatan tersebut justru melahirkan tindak pidana baru, dan tak menutup kemungkinan masyarakat akan kembali mengikuti tindakan serupa. "Efeknya bisa berkembang menjadi aksi anarkistis masyarakat terhadap pelaku kejahatan yang menarik perhatian publik.".

Aksi main hakim sendiri dengan cara membakar orang hidup-hidup ini mengingatkan akan kejadian serupa yang terjadi di timur tengah, yakni pasukan militer ISIS (Islamic State of Iraq and Syria ) kelompok Jihadis garis keras yang aktif di Irak dan Suriah. yang membakar Pilot Yordania dan yang terbaru adalah membakar hidup-hidup 45 warga Irak. Apakah aksi yang dilakukan yang terjadi di timur tengah sama dengan yang terjadi di negeri ini?.

Bodoh rasanya jika menyamakan dua hal yang diisi oleh kepentingan yang berbeda, sumbu api yang berbeda, jika ISIS dipenuhi oleh intrik kekuasaan karena keinginan membentuk negara dan pemerintahan baru atau tindakan separatis dengan membuat sebauh propaganda menakut-nakuti dengan membakar hidup-hidup lain halnya dengan kejadian yang terjadi disini, menurut kriminolog Kisnu Widagso ada berapa faktor penyebab warga tega membakar hidup-hidup. "Ada yang akibat dendam karena pernah mengalami hal serupa dan ada juga yang ikut melakukan akibat rasa empati kepada korban lain. Rasa empati itu berubah menjadi kebencian sehingga saat ada pelaku kejahatan tertangkap, output-nya pun seperti itu. Tapi, tetap tidak seperti itu caranya,".

Seperti pendapat yang pernah diutarakan oleh Gusmus di website pribadinya, tentang kesalehan, ada “kesalehan ritual” dan “kesalehan Sosial”. “kesalehan ritual” mereka menunjuk perilaku kelompok orang yang hanya mementingkan ibadat mahdlah, ibadat yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan untuk kepentingan sendiri sedangkan kesalehan sosial” adalah perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai Islami, yang bersifat sosial. Suka memikirkan dan santun kepada orang lain, suka menolong, dan seterusnya.

Mungkin kita tidak kehilangan kesalehan ritual, pengajian mulai ramai di kota-kota besar dan jamaahnya pun tidak sedikit atau tentang kemudahan beramal hanya dengan menyentuh layar handphone melalui banking online, dan seterusnya, tetapi tentang kesalehan sosial? Apakah kita sudah menjalankan juga, atau sudah terkikis oleh hal-hal duniawi yang melenakan kita. Kita sibuk mendakwa orang lain bersalah tanpa berkaca akan dosa kita sendiri. Kita sibuk mempersoalkan tabiat buruk orang lain tanpa tahu seburuk apa rupa dari sifat kita sendiri apalagi membenarkan tindakan yang tidak terpuji.

Sudah hilangkah kesalehan sosial kita?.

Sumber gambar: poskotanews.com

0 komentar:

Post a Comment